Senin, 22 April 2013

MANDAU

Mandau

Mandau berasal dari asal kata "MAn-Da-U" adalah nama seseorang yang datang ke pulau kalimantan yaitu dari suku kuno china "Namman" atau Barbar Selatan. Man Da U adalah nama seseorang yang pertama membuat bentuk senjata pedang yang menyerupai bentuk bilah pedang/parang mandau saat ini.
Man Da U datang ke pulau kalimantan beserta para tawanan perang Bangsa Barbar Selatan, ada laki-laki dan perempuan kemudian mereka dipekerjakan menjadi budak dan mengabdi kepada Man Da U. Man Da U datang ke kalimantan untuk mencari hasil alam, dia berkeliling ke sungai-sungai dan membentuk kelompok-kelompok dari tempat satu dan tempat lainnya. Tubuh-tubuh mereka ditandai dengan ukiran-ukiran tato agar mereka mengenal setiap kelompok klan yang mereka temui.
Man Da U terkenal kejam dan ahli dalam peperangan, kelompok klan mereka melawan bangsa-bangsa lain yang datang ke pulau kalimantan, termasuk bangsa Melayu dan Bangsa Austronesia, karena seringnya peperangan antar klan dan bangsa-bangsa yang datang ke pulau kalimantan, Man Da U menjadi terkenal dengan bilah senjatanya yang tajam dan suka memenggal kepala musuh-musuhnya (adat Pengayauan) hingga para bangsa lainnya tidak berani memasuki daerah mereka. Hingga sampai dengan sekarang Mandau menjadi sebutan nama sebuah senjata adat asli Pulau Kalimantan, orang-orang dahulu jika membuat senjata menamakan senjata mereka dengan sebutan senjata Mandau yang sakti seperti leluhur mereka Man Da U yang membawa adat Pengayauan (pemenggalan kepala musuh).
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.

Kumpang

Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa, dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.

Ambang

Ambang adalah sebutan bagi mandau yang terbuat dari besi biasa. Sering dijadikan cinderamata. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa.

Bahan baku dan harga

Menurut literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Sanaman Matikei, Katingan. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan. Mandau asli harganya dimulai dari Rp. 1 juta rupiah. Mandau asli yang berusia tua dan memiliki besi yang kuat bisa mencapai harga Rp. 20 juta rupiah per bilah. Bahan baku pembuatan mandau biasa dapat juga menggunakan besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan dan besi batang lain. Piranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebasang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. Juga digunakan penghembus udara bertenaga listrik untuk membarakan nyala limbah kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya.
Mandau untuk cideramata biasanya bergagang kayu, harganya berkisar Rp. 50.000 hingga Rp. 300.000 tergantung dari besi yang digunakan. Mandau asli mempunyai penyang, penyang adalah kumpulan-kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal dalam menghadapi musuh. mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur.

Referensi

  • Kompas, Senin 8 Mei 2006. Teropong Tanah Air: Lestarinya Mandau Senjata Khas Dayak. Hal. 36
  • Black Belt Jul 1970  
 MANDAU PUSAKA ORANG DAYAK
 Tidak banyak yang tahu tentang mandau, selain sebagai senjata tradisional Suku Dayak di Kalimantan, Indonesia. Di dalam kehidupan Orang Dayak, mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata, namun ia diyakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan (pemberi motivasi dan semangat; spirit). Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan. Menurut Tjilik Riwut (Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan,1993:309), nama asli mandau dalam Bahasa Sangen (Dayak Kuno) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala”(-pen) di zaman dulu. Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat. Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu, menebas semak dan lain-lain.Sebagai gantinya,biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang. Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya, ia juga tidak dipakai untuk meneror orang, atau mengancam orang lain. Konon, apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya, ia akan menuntut darah, dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya, mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei. Konon menurut cerita turun-temurun, ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan, yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan; dan kedua, di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian. Melalui proses panjang, sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk. Begitu pula pada bagian sarungnya, selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan, biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo. Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat. Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’, di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa (bukan dalam konteks sakral). Pada masa lalu, peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal, maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng. Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memunahkan. Namanya juga masih zaman primitif, kegiatan hasang-maasang (saling teror) dan kayau-mangayau(saling bunuh dengan penggal kepala) adalah sebuah pertarungan mempertahankan entitas dan eksistensi. Kesemuanya tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan karena persoalan politik kekuasaan dan pertahanan eksistensi dan jatidiri yang terancam. Seseorang yang sudah cukup ilmu barulah turun ke kancah pertarungan ini dan persoalannya pun bukan persoalan yang ringan, sehingga jalan damai mungkin sudah tidak mendapat kata sepakat lagi. Ada banyak aturan dalam hal peperangan,diantaranya tidak melibatkan anak-anak menjadi korban begitu juga dengan para ibu. Kesemuanya dilakukan secara jantan; satu lawan satu, atau perang terbuka secara massal. Dalam kamus peperangan Suku Dayak kuno, tidak ditemui istilah keroyokan atau membunuh dalam keadaan terjepit. Apabila korban sudah menyerah, maka ia akan ditawan sebagai budak/jipen yang akan mengabdi pada pihak yang menang selama hayatnya, kecuali ditebus atau dibeli/ditukar dengan barang berharga berupa guci yang disebut balanga atau benda berharga lainnya. Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu, mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya, tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”. Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan, jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif. Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini. Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura,seolah sesuatu yang dapat dipelihara, disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya. Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’. Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu, sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”. Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan, misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan). Dalam konteks kekinian, mandau telah menjadi sebuah pusaka tradisional yang cukup langka. Kelangkaan tersebut sangat disayangkan dikarenakan oleh ketiadaan pandai besi yang menurunkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Para pemilik mandau warisan leluhur juga dianggap kian berkurang. Sebagian sudah tidak dirawat lagi dan sebagian lain telah berpindah kepemilikannya kepada orang asing dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan ekonomi. Biasanya yang memiliki dan merawat benda-benda tradisional adalah para tetuha adat atau para basir berkaitan dengan kepemimpinannya pada setiap upacara-upacara adat. Di samping itu, komponen material sebagai bahan utamanya juga sangat sulit ditemukan. Alhasil, kalaupun dibuat tiruan/replikanya,mandau masa kini sudah menggunakan besi-besi (atau baja) yang kurang ampuh dan aura kedigdayaannya pun dianggap tidak terlalu istimewa. ‘Mandau-mandau’ tersebut hampir setara dengan pisau ambang (parang laki) dan dijual dengan bebas di toko-toko cinderamata di pinggir-pinggir jalan.

CERITA TENTANG MANDAU

Mitos Mandau Terbang, Fakta yang mencengangkan

mandau terbang
Pada saat terjadianya kerusuhan antar Etnis di Sambas dan  Sampit, banyak cerita berkembang tentang adanya fenomena Mandau Terbang : (Mandau yang bisa terbang mencari sasaran sindiri, bisa memilih dan memenggal leher musuh).  Hal tersebut cukup menggetarkan dan membuat merinding siapapun yang mendegar.
Semua dikembalikan pada yang mendengar, boleh percaya boleh tidak. Namun demikian banyak kesaksian yang menguatkan kebenaran akan fenomena tersebut.
Apapun ceritanya harus digaris bawahi bahwa Mandau adalah senjata tradisional Suku Dayak .  Mandau telah menjadi Simbol kekuatan, simbol keadilan, simbol persatuan dan sekaligus simbol kehidupan Suku Dayak.
Bagi orang Dayak, membawa mandau kemana-mana adalah hal biasa, tidak perlu dirisaukan.  Untuk mencabut mandau tidak boleh sembarangan, ada aturannya. Mandau tidak boleh digunakan untuk mengancam orang lain, salah salah bisa mendapatkan denda secara adat.  Mandau baru akan dicabut dari sarungnya hanya jika dalam mondisi amat terdesak untuk mempertahankan diri, dan konon setiap mandau keluar dari sarungnya harus mendapat korban.
Mandau terbang konon bisa dilakukan oleh para tetua Suku yang memiliki kesaktian tinggi, melalui ritual tertentu makan mandau tersebut akan melesat terbang mencari sasarannya, hampir dipastikan mandau tersebut tidak akan salah sasaran. Dan ritual Mandau terbang hanya akan dilakukan dalam kondisi yang amat darurat demi menpertahankan hidup.
Ada kesaksian dari sebuah keluarga dimana kesaksian tersebut sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat.  Kejadian ini di sampit beberapa tahun lalu saat terjadi kerusuhan etnis.
Ada sebuah keluarga etnis cina, memiliki seorang pembantu dari etnis tertentu.  Mereka sekeluarga sedang berada di dalam rumah, semua pintu dan jendela dalam kondisi tertutup dan terkunci rapat.  Sejurus kemudian terdengar pintu diketok dari luar,  buru-buru keluarga tersebut menyembunyikan pembantunya ke sebuah ruangan yang dinilai aman dan kedap udara.  selanjutnya mereka mebuka pintu, Di depan pintu diluar rumah telah berdiri beberapa lelaki suku Dayak yang sedang melakukan sweeping terhadap warga etnis ‘tertentu’. Mereka menanyakan apakah ada warga etnis “tertentu” di dalam rumah ? .  Pemilik rumah yang kebetulan dari etnis cina tersebut mengatakan bahwa yang didalam rumah tersebut hanya mereka saja sekeluarga etnis cina.
Mendengar jawaban pemilik rumah tersebut, beberapa laki laki Dayak tersebut tidak berkomentar dan segera meninggalkan rumah. Si pemilik rumah merasa lega dan buru-buru masuk rumah dan mengunci pintunya kembali.
Merasa situasi aman dari sweeping, maka pemilik rumah tersebut segera menghampiri pembantunya yang di sembunyikan dalam sebuah ruangan.  Namun bagai mimpi  disiang bolong, dia mendapati  leher sang pembantu tersebut  telah putus terpotong bersimbah darah.  Karena ketakutan dan trauma , maka tanpa fikir panjang satu keluarga etnis cina tersebut saat itu juga pergi meninggalkan rumah dengan hanya menbawa barang yang bisa dibawa seadanya kembali ke kota asal di  Malang .
Ya Mandau Terbang kisah antara mitos dan kenyataan…..


borneo pulau budaya

Ritual Adat Padi Dayak Kendayan

Ritual adat dayak kandayan kabupaten bengkayang yang biasanya di sebut "nyangahant" ini biasanya di lakukan sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta "jubata".Ritual ini biasanya di lakukan saat akan di lakukannya penanaman padi ( ijin kepada jubata awa pama ) besansam atau dalam bahasa dayak kendayannya adalah balalak/pantangan untuk bekerja selama tiga hari,ritual ini di maksudkan untuk meminta kepada sang pencipta ( Jubata ) supaya selama pengarapan dan penanaman padi di berikan suasana hari-hari yang cerah dan mendukung penanaman padi supaya berhasil dan mendapat hasil yang limpah ruah.Ritual akan kembali di laksanakan pada saat panen pertama kali yakni orang dayak kandayan menyebutnya "Mipit".Mipit ini sebagai pesta ungkapan syukur kepada sang pencipta "Jubata" atas berkat yang di berikan,Mipit ini diadakan serentak biasanya di setiap daerah sehingga dalam satu daerah itu bisa saling marasakan hasil panen warga lainnya.Dan pesta besar yang ketiga ini merupakan pesta terakhir setelah penenaman padi hingga berhasil.Pesta Naik Dango ini di laksanakan setelah panen padi selesai.Pesta Naik Dango ini di maksudkan untuk menyampaikan syukur atas panen yang telah di laksanakan sekalian mengantarkan benih yang akan di tanam kembali pada tahun yang akan datang.Pelaksanaan Naik dango ini tida seperti pelaksanaan acara Besansam atau Mipit yang di mana di lakukan di rumah,Naik Dango di lakukan di Rumah Panjang ( Rumah Betang ).

Tarian Mandau ( Kalimantan Barat )

Tari Mandau. Tarian Mandau merupakan satu dari sekian banyak jenis tari yang lahir dari kultur Budaya masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Tari Mandau Suku Dayak simbolisasi dari semangat juang masyarakat Suku Dayak dalam membela harkat dan martabatnya.

Selain menggambarkan patriotisme warga Bumi Tambun Bungai untuk menjaga tanah kelahirannya, Tari Mandau Suku Dayak Kalteng juga merupakan simbolisasi keperkasaan pria Suku Dayak Kalimantan Tengah dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan.

Dalam setiap pertunjukan atau persembahan Tari Mandau diringi alunan suara kemerduan Gandang dan Garantung bertalu kencang. Harmonisasi perangkat musik tradisional tersebut memunculkan irama penuh semangat, seolah mengajak mereka yang mendengar dan menyaksikan persembahan Tari Mandau semakin bersemangat layaknya pejuang Suku Dayak yang siap terjun ke medan juang.

Kelompok penari Tari Mandau seringkali dilengkapi dengan menggenggam Mandau pada tangan sebelah kanan, sedangkan di tangan kiri Talawang menangkis serangan musuh sebagai tameng kokoh suku Dayak juga tampil menyempurnakan Tari Mandau Suku Dayak yang ditampilkan.

Mandau Kalimantan Barat

Inilah bagian dari harta yang masih di miliki komunitas bprneo (dayak ) di kalimantan barat,kita patut bersukur katena semua itu masih tersimpan rapi sampai saat ini.Mandau merupakan alat yang di gunakan komunitas/masyarakat dayak setiap harinya untuk kegiatan pertanian.gambar di bawah ini merupakan contoh macam-macam mandau yang di miliki kabupaten kota yang ada di kalimantan barat.
1. Melawi
Melawi
2. Singkawang
Singkawang
Singkawang
3. Darit
Darit
4. Bengkayang
Bengkayang
5. Sintang
Sintang
Sintang
6. Dayak
Dayak
Dayak
7. Kapuas Hulu
Kapuas Hulu
8. Sintang Melawi
Sintang Melawi

Asal Mula Suku Dayak Kalimantan

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-197 8)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-197 8)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

bujang tarigas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

untuk pemesanan dan komentar/saran tulis di sini